Penulis: Pia Devina
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2015
Tebal Buku: 192 halaman
Genre: Romance
"Wanita harus menikah sebelum usia dua puluh enam tahun agar kehidupan rumah tangganya bahagia."
Bagi seorang Gayatri Windriya, menikah tidak menjadi prioritas dalam hidupnya. Permasalahan yang timbul mungkin tidak akan menjadi sangat keruh seandainya keluarga besar tidak menjodohkan dirinya dengan seseorang.
Mahesa Bhadrika, lelaki yang sangat dibencinya di masa lalu, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bagaimanapun, Giya bersikeras untuk membubarkan rencana pernikahannya sendiri bersama laki-laki itu. Dia bahkan meminta Reksa untuk pura-pura menjadi kekasihnya.
Lantas... haruskah rencana pernikahan itu benar-benar karam?
Jujur saja, kurang puas dengan novel ini. Ceritanya terlalu sederhana. Diceritakan dari sudut pandang seorang Giya, gadis berusia 29 tahun yang selalu dicecar dengan pertanyaan kapan nikah dari keluarga besarnya. Kejadian tidak mengenakkan yang dialami sang nenek, membuat nenek Lili meminta agar semua keturunannya menikah sebelum usia 26 tahun. Statusnya yang single dan tidak kunjung memperkenalkan pacarnya pada keluarga besarnya, membuat nenek Lili dan mamanya menjodohkan Giya dengan Badi. Keputusan yang ditentangnya dengan keras karena Badi pernah menyakitinya dulu saat mereka masih duduk di bangku SMA. Berbagai cara dilakukan Giya untuk membatalkan pertunangan, termasuk meminta Reksa, salah satu karyawan sahabat Giya untuk pura-pura menjadi pacarnya. Sekeras apapun Giya berusaha untuk menolak pertunangan itu, sekeras itu pula keluarganya berusaha mendekatkan dirinya dan Badi.
Kekurangan pertama novel ini adalah ceritanya kurang tereksplor. Karena menggunakan sudut pandang orang pertama, jadi kita hanya akan disuguhi isi kepala Giya, yang seolah-olah nggak ada kerjaan lain selain memikirkan cara supaya tidak jadi bertunangan dengan Badi. Dan Giya sama sekali tidak mencerminkan seorang perempuan yang sudah berusia 29 tahun. Sifatnya yang keras kepala, childish, dan egois membuatnya jadi berkesan masih berusia 21 tahun, bukannya 29 tahun. Karir mapan Giya juga kurang dieksplor. Memang selama ini aku menyukai gaya menulis Pia yang simpel, yang tidak harus mendeskripsikan latar belakang profesi tokoh-tokohnya. Tapi untuk seorang Giya yang belum memprioritaskan pernikahan karena karir yang sudah bagus, harusnya Pia juga bisa mendeskripsikan profesi Giya dengan jelas. Dengan begitu, yah Giya bisa terlihat seperti perempuan berusia 29 tahun pada umumnya. Alasan membenci Badi karena kekonyolan masa SMA mereka terlalu mendramatisir. Kenapa coba Giya bisa dendam dengan cinta masa remaja yang belum mengenal komitmen, sementara dia tidak menaruh dendam pada Donny mantan pacarnya yang meninggalkannya karena perempuan? Jangankan aku, Giya sendiri juga nggak mengerti kenapa bisa begitu. Yah, mungkin memang benar batas antara benci dan cinta itu terlalu tipis.
Novel ini juga masuk dalam seri "Wedding" Grasindo, tapi nggak mencerminkan tema wedding. Ekspektasi aku mengenai seri ini adalah kita akan memasuki dunia pra-nikah atau pasca nikah. Endingya juga sepertinya terburu-buru. Setelah dibikin naik turun emosinya dengan sifat kekanak-kanakan Giya, aku mengharapkan ending yang lebih dari sekedar senyuman. And Badi deserve a more than just a smile. Yah, setelah nyaris dipermalukan, bukan cuma dirinya sendiri saja, tapi juga seluruh keluarga besarnya, Badi berhak mendapatkan lebih dari sebuah senyuman. Memang sih kalau jadi Giya aku juga akan marah luar biasa, but helllooooouw, kejadian itu sudah lama berlalu. Masa sih kita nggak akan pernah mau move on? Dan males banget nggak sih harus menambah beban pikiran untuk masalah yang nggak perlu didramatisir. Dari novel ini setidaknya kita bisa belajar, kalau setiap manusia itu nggak sempurna. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Orang dewasa saja masih melakukan kesalahan, apalagi remaja yang nggak mau berpikir susah-susah. Hanya karena kita nggak pernah menyakiti hati mantan-mantan pacar, nggak lantas menjadikan kita malaikat. Harus bijaksana dan berpikir panjang. Jangan meniru tindakan Giya yang egois, tanpa memikirkan perasaan keluarga besarnya.
Sosok Reksa sendiri, aku nggak ngerti juga. Suka sama Giya kah atau bagaimana? Rivalitasnya kurang ganas, jadi bisa aku bilang Reksa kurang menambah bumbu cerita. Sosoknya sedikit menonjol di bagian endingnya saja. Untuk novel Pia yang ini, aku lebih membela Badi. BTW, namanya kan keren nih, Mahesa Bhadrika, kok panggilannya jadi Badi? *abaikan*
The Wedding Plan bukan penampilan terbaik dari Pia, yang gagal mengeksekusi ceritanya. Aku hanya bisa memberikan 2 bintang untuk novel ini, ditambah setengah bintang untuk gaya menulis Pia yang tidak membosankan.
2,5 of a 5 Stars
0 komentar:
Posting Komentar