“Kau
boleh menghitung keuntungan materi dalam cinta. Tapi itu tak akan bisa
menandingi kemurnian cinta.”
Judul:
Cewek Matre
Penulis:
Alberthiene Endah
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi
dan Desain Sampul: J. Henk Winiarti
Tebal
Buku: 464 hlmn;20 cm
ISBN:
978-979-22-8087-6
Tahun
Terbit: 2004
“Mana bisa hidup tenang
di Jakarta? Coba lihat, di sebelah kiri kamu cewek pake tas Prada, di kanan
pake terusan Gucci. Di belakang, cewek kecentilan pake kelom Dior! Jauh di
depan mata, ada yang siap melototin kamu dari ujung rambut ke ujung kaki. Lalu
matanya akan mengejek begitu tahu yang nempel di tubuh kamu cuma keluaran
Mangga Dua.”
Lola humas di sebuah
radio. Kantor yang membuatnya panas-dingin tiap hari, karena selalu berurusan
dengan jetset-jetset Jakarta yang superglamor. Ia gadis yang cantik dan seksi.
Mulanya ia tidak menyadari kelebihan itu. Tapi suatu hari ia sadar
penampilannya bisa ditukar dengan uang.
Bahagiakah dia, setelah
menjadi cewek matre?
Aku harus berterima
kasih sebelumnya sama teman yang sudah memberikan novel ini kepadaku –yang
sayangnya aku lupa siapa yang ngasih novel ini-. Tahun 2004 saat novel ini
terbit, aku baru saja memulai tahun awal perkuliahanku. Membaca novel ini pada
saat itu sudah pasti akan membuatku kebingungan dengan segala macam branded
atau jenis-jenis dress yang bertaburan di novel ini. Tapi aku bisa mengambil
kesimpulan untuk tokoh utama dalam novel ini. BPJS alias Budget Pas-pasan Jiwa
Sosialita.
Lola adalah humas di
radio City Girls FM, yang nyaris setiap hari mengeluhkan gaji sebulannya yang
berjumlah empat juta perak tidak cukup untuk hidup di Jakarta ini. Setiap
gajian, Lola akan mulai menyusun anggaran yang sudah keluar. Dan yah, belum
juga sebulan, kantongnya sudah mengerut. Lola bersahabat baik dengan Palupi,
Silvia dan Renata. Tiga gadis yang hampir mirip dengan Lola dari segi finansial.
Setiap hari mata mereka selalu melirik iri pada Arientha, Linda, Bianca dan
Verena, yang selalu berpenampilan sophisticated
dan dibalut pakaian serta aksesoris bermerek. Dari situlah timbul niatan
mereka untuk berusaha menggebet atau minimal bisa berteman dengan cowok-cowok
kaya agar bisa ketiban rejeki ditraktir barang-barang branded. Di antara mereka berempat hanya Lola yang berhasil
menggebet cowok mapan karena fisiknya yang memang cantik. Merasa di atas angin,
Lola jadi lupa diri. Bermandi uang, baju-baju mahal, tas dan sepatu branded,
Lola jadi keenakan memanfaatkan kecantikan fisiknya untuk menggaet pria-pria
kaya yang tergila-gila padanya. Tapi masalah datang satu per satu dan mulai
merendahkan harga dirinya. Belum lagi gosip yang beredar di kantornya kalau dia
menjadi simpanan om-om. Lola terusik, tapi membayangkan dirinya kembali miskin
tidak meruntuhkan naluri matre dalam dirinya. Sampai dia bertemu Clift. Seorang
fotografer yang memotret karyawan City Girls FM saat membuat Company Profile. Lola jatuh cinta, dan
cintanya terbalas. Untuk pertama kalinya Lola melihat seorang pria tanpa
memikirkan kemapanan finansial pria tersebut. Lantas berhentikah Lola menjadi
cewek matre dan siap meninggalkan kehidupan glamor yang sudah dicecapnya selama
satu tahun terakhir?
Jakarta memang gila.
Tapi bukan berarti saya mesti gila. Hal 455
Aku
agak miris saat membaca bagian prolognya, yang berisi panjang lebar pembelaan
kalau menjadi cewek matre itu tidak salah, melainkan sudah tuntutan hidup.
Pengen ketawa keras-keras sebenarnya. Novel ini keluar di tahun 2004, dan
betapa berartinya uang sejumlah empat juta rupiah di tahun itu. Dengan catatan
kita bisa mengatur pengeluaran dengan baik. Bergaya sesuai isi kantong
tepatnya. Bukannya sok suci atau apa, tapi menjadi cewek matre hanya karena di
sebelah kita memakai tas Louis Vuitton? Sepadankah itu dengan nama baik dan
harga diri kita sebagai perempuan? Di dunia ini memang siapa yang tidak mau
uang? Siapa yang tidak ingin merasakan kehidupan glamor? Tapi kalau harus
memilih jalan seperti Lola, sayang banget. Apalagi Lola digambarkan mempunyai
paras cantik yang masih bisa digunakan dalam hal lain, selain menggaet
laki-laki kaya dan mapan. Hal lain yang aku maksudkan di sini, ada dalam cerita
juga kok.
Cerita di novel ini
selain mengungkapkan gaya hidup instan yang kebanyakan dipilih di jaman sekarang,
juga secara tidak langsung mengajarkan kita untuk bersyukur. Kalau merasa hidup
kita serba kekurangan, jangan melihat ke atas. Tapi lihatlah ke bawah. Lihat ke
orang-orang yang susah payah bekerja tapi hanya bisa dapat uang yang hanya
cukup untuk makan sehari saja. Kalau mata kita hanya tertuju ke atas saja, yah
pastinya kita akan menjadi Lola-Lola yang berikutnya.
“Karena mata lu cuma
dihabisin buat ngeliatin Arintha, Linda, lalu humas-humas sok kaya itu,
klien-klien selangit. Coba mata lu sedikit diarahin ke gue. Datang dari
Surabaya. Bayar kos dan hidup pake sisa gaji yang sebagian besar dikirim ke
nyokap di sana. Toh gue bisa survive!”hal 385
Saat baca prolognya,
aku kira Lola terpaksa jadi cewek matre karena tuntutan pergaulannya. Nggak ada
barang bermerek yang nempel di tubuh kamu = nggak ada teman. Tapi ternyata Lola
punya tiga sahabat yang meski selevel tingkat kere-nya, tapi tulus mau berteman
dengannya dan mau melewati susah senang sama-sama. Kembali lagi ke gengsi
rupanya. Aku jadi bertanya-tanya, tanpa Louis Vuitton, Prada, Celine, Fendi,
Bvlgari, memangnya nggak bisa hidup di Jakarta sana yah? Hidup memang keras,
tapi pasti ada jalan untuk survive. Untuk apa memedulikan pandangan atau
omongan orang-orang yang mungkin hanya setahun atau beberapa bulan sekali baru
ketemu, sementara di sisi kita ada keluarga yang hangat dan sahabat yang akan
membuka lebar tangannya tanpa harus melihat merek mahal dan terkenal mana yang
sedang menempel di tubuh kita. Aku berterima kasih pada mbak Alberthiene yang
sudah menciptakan novel ini. Nggak perlu merasa kesindir, atau digurui, tapi
ambil hikmahnya saja. Jangan harus jadi Lola dulu, baru bisa sadar kalau masih
ada jalan lain yang lebih baik untuk mendapatkan uang. Toh pada akhirnya Lola
juga jadi bisa tahu mana yang bisa menjadi sumber kebahagiaannya.
“Ternyata duit bukan
cuma datang dari lelaki.” Hal 447
Selain pesan moralnya,
aku sangat menikmati gaya menulis mbak Alberthiene. Dialog dan monolog yang
kocak yang kebanyakan keluar dari mulut Silvi dan Tohir. Aku juga tertawa
sendiri saat Lola mulai mendeskripsikan fisik dan sifat rekan-rekan kerjanya.
Gaya bahasa yang ringan membuat novel ini jadi tidak membosankan. Apalagi
halamannya cukup tebal. Ide penulis menciptakan karakter Silvi, Tohir dan
Poltak, yang meski hanya sebagai karakter pendukung, tapi berperan besar
membuat pembacanya ngakak.
Kesimpulannya aku
menyukai jalan cerita novel ini. Lebih membuka lebar mata aku, dan mengingatkan
diri sekali lagi untuk bergaya sesuai kantong. Dan materi tidak selamanya menjadi
kunci kebahagiaan manusia.
4
of a 5 Stars
0 komentar:
Posting Komentar