Judul
Novel : Friends Don’t Kiss
Penulis
: Syafrina Siregar
Penerbit
: PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah
Halaman : 208 halaman
Harga
: Rp. 46.000,-
Kategori
: Fiksi, Metropop, Romance
Sinopsis
:
“In
case you forgot, Mia, friends don’t kiss.”
Bagi Mia Ramsy,
menyusui adalah salah satu ekspresi cinta terbesar seorang ibu bagi anaknya.
Tapi bagi Ryan Subagyo, setiap mendengar kata “menyusui”, yang muncul di
benaknya hanyalah bayangan payudara wanita.
Namun, kegigihan Mia
memperjuangkan hak setiap bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif lewat Indonesia
Braestfeeding Mothers –organisasi nirlaba tempat gadis itu mengabdi- justru
semakin membuat Ryan jatuh cinta padanya.
Ryan semakin yakin Mia
berbeda dari gadis-gadis yang selama ini ia temui. Kekayaan, kesuksesan, dan
ketampanannya memang membuat Ryan dikejar banyak gadis, tetapi belum ada yang
mampu menggetarkan hatinya. Hanya Mia yang mampu membuat Ryan untuk pertama
kalinya memikirkan pernikahan.
Namun, apakah lamaran
Ryan akan diterima jika gadis itu mengetahui siapa Ryan Subagyo sebenarnya?
***
Dari awal sudah
tertarik dengan novel ini karena isu pentingnya ASI yang diangkat dibalik kisah
romansa antara Ryan dan Mia. Tidak hanya menjual romansa, tapi penulis juga
‘ikut’ berkampanye soal pentingnya ASI untuk bayi. Di awal cerita, kita
disuguhi info-info penting seputar ASI. Bagaimana cara agar ASI bisa keluar,
dan beberapa istilah seperti Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan Perlekatan. Dua
jempol juga untuk Mia yang meski pun memiliki bengkel besar warisan dari
ayahnya, tapi memilih untuk menjadi sukarelawan di organisasi Indonesia
Breastfeeding Mothers. Sekali pun tidak digaji, tapi Mia tulus menjalani
tugasnya sebagai konselor laktasi, dan gigih berjuang agar para bayi
mendapatkan hak ASI-nya.
Konfliknya pun menarik,
karena Ryan dan Mia, dua pribadi yang berseberangan tapi saling jatuh cinta.
Ryan yang seorang pemilik perusahaan susu formula Prima Gold, jatuh cinta
kepada Mia. Meski pun dia tahu betapa kesalnya Mia pada perusahaannya yang
beberapa kali melanggar Keputusan Menteri mengenai Pemasaran Pengganti Air Susu
Ibu. Dari novel ini juga aku jadi tahu poin-poin penting dalam KepMen tersebut
dan etika pemasaran susu formula yang dikeluarkan WHO pada tahun 1981.
Tokoh Ryan sendiri
bikin klepek-klepek juga karena perhatiannya yang begitu besar pada Mia dan
pilihan sulit yang diambilnya demi memilih Mia sebagai calon istrinya. Padahal
sebelumnya, pernikahan tidak pernah ada dalam kamusnya.
‘Well
marriage is a lifetime commitment, isn’t it? Unless he’s damn sure, he’s not
going to do it.’ (Halaman 49)
Perlakuannya pada Mia,
yang meski pun termasuk tindakan sederhana, tapi begitu manis. Bukan cuma Mia
deh yang klepek-klepek, tapi aku juga ikutan klepek-klepek. Gimana nggak
klepek-klepek kalau tiba-tiba dia sudah muncul di depan pintu apartemen dan
bilang kalau dia mampir cuma untuk melihat Mia. Walau pun terkadang, Ryan
bertindak seperti seorang stalker yang tiba-tiba saja sudah muncul di apartemen
Mia, tapi sikap gentleman dia mampu menghapus rasa ngeri yang sempat timbul. Menambah
nilai plus juga, walau berkali-kali Ryan mengatakan kalau Mia sudah
membangkitkan nafsu primitif dalam dirinya, tapi Ryan tidak memperlakukan Mia
dengan seenak nafsunya juga.
“Kamu
sudah menghidupkan setiap kepekaan primitif dalam diriku. Sesuatu yang bahkan
aku sendiri tidak bisa mengontrolnya.” Ryan (Halaman 88)
Selain isu pentingnya
ASI dan sikap Ryan yang bikin meleleh, gaya bahasa penulis juga enak dan
mengalir. Tidak berkesan kaku dan membosankan. Dialog antara Mia dan Ryan juga
manis tapi tidak terkesan gombal, dan kadang sarkastis tapi terkesan lucu.
Novel ini juga informatif membahas detil mengenai ASI, mulai
dari kandungan dalam ASI yang menjadi modal kekebalan bagi bayi, fakta bahwa
bayi menangis tidak selamanya karena masih merasa lapar dan info-info penting
lain yang akan diketahui setelah membaca novel ini. Riset yang dilakukan
penulis membuatku mengacungkan dua jempol.
Tapi membaca novel ini,
nggak selamanya bikin senyum-senyum sendiri. Sikap Mia yang terkadang terlalu
idealis membuatku selalu berdecak sebal. Sikap idealis Mia bukan hanya ketika
berhadapan dengan Ryan saja, tapi saat dia tengah menjadi konselor laktasi.
Mungkin karena semangatnya yang terlalu berapi-api, Mia malah terkesan
menceramahi. Seolah-olah setiap ibu yang memberikan tambahan susu formula pada
sang bayi itu berdosa. Tidak heran kalau dia harus menghadapi kekesalan
adiknya, Lia, yang merasa kalau Mia hanya tahu teori. Dan idealisnya Mia itu
juga seolah-olah menggambarkan kalau dirinya begitu memusuhi susu formula
diseluruh dunia dan para penciptanya. Tapi pada akhirnya dengan kritikan dari
Lia dan dorongan dari Gina, temannya, Mia jadi tahu bagian mana dari dirinya
yang salah selama dia menjadi konselor laktasi.
“Idealisme
lo nggak pernah ada yang konyol. Tapi bantu gue dengan berdiri disebelah gue,
bukan di depan gue.” Lia (Halaman 135)
Aku sendiri
merekomendasikan novel ini untuk dibaca semua kalangan. Walau pun sebenarnya
ini novel romance, tapi bersifat informatif dan edukatif. Mungkin pembaca yang
belum menikah akan merasa agak flat atau kurang dapat feel-nya di awal cerita karena memang pure membahas soal ASI. Ada
beberapa kejanggalan juga sih, seperti si Lia yang sudah mampu menangis dan
berteriak padahal dia baru saja menjalani operasi cesar. Itu kan sakit, ngomong
aja masih harus pelan-pelan apalagi sudah berteriak. Yang janggal juga,
perusahaan sekaliber Prima Gold yang masih melanggar kode etik pemasaran
pengganti Air Susu Ibu apalagi sampai mengiklankan susu formula mereka untuk
bayi dibawah satu tahun. Tapi yah namanya juga cerita fiksi, pasti ada kan yang
mungkin bertentangan dengan kenyataan, tapi masih bisa diterima akal sehat. Yang
jelas tidak ada something missing
dalam novel ini yang membuat pembaca jadi bingung di bab-bab terakhir.
Walau pun ada beberapa
kejanggalan, dan ending-nya terlalu
mepet, tapi karena diksinya yang enak, isu pentingnya ASI yang diangkat dan
membuat novel ini berbeda, semangat Mia menjadi konselor laktasi, dan Ryan yang
dominan tapi sweet, membuatku tidak ragu memberikan 3 bintang.
3
of a 5 star for Friends Don’t Kiss.
0 komentar:
Posting Komentar