Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical
eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat –tiga menit setelah
take off dan delapan menit sebelum landing - karena secara statistik delapan
puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas
menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger. In a way,
it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya
karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum
berpisah – delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang
tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru
menjadi perpisahan.
Ale
dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Tiga menit
pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan
saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah
Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini,
lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar
yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk
keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan
bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan
puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya,
atau justru keduanya.
Judul: Critical
Eleven
Penulis: Ika
Natassa
Editor: Rosi L.
Simamora
Desain Sampul: Ika
Natassa
Penerbit: PT
Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku: 344
halaman;20 cm
Tahun Terbit: 2015
ISBN:
978-602-03-1892-9
Kutipan
monolog dan dialog favorit:
- Aku
laki-laki yang sudah kamu pilih, Nya, dan sampai kapan pun aku tidak akan
membiarkan kamu mengubah pilihan itu. Hal 34
- Lagi
pula, aku piker cinta itu untuk dirasakan sendiri kan, bukan untuk dijelaskan
ke orang lain? Hal 36
-
I’ve
burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with
you. Hal 38
- Hidup
memang tidak pernah se drama di film, tapi hidup juga tidak pernah segampang di
film. Hal 40
- Kata
orang, saat kita berbohong satu kali, sebenarnya kita berbohong dua kali.
Bohong yang kita ceritakan ke orang dan bohong yang kita ceritakan ke diri kita
sendiri. Hal 57
- Tidak
ada yang bisa mengerti kecuali pernah mengalami rasanya saat kebahagiaan orang
lain justru mengingatkan kesedihan diri sendiri. Hal 93
- Kata
orang waktu akan menyembuhkan luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati
oleh waktu. Hal 95
- What’s
between a man and a woman in a marriage is only between the man and the woman.
Hal 131
- Karena
beginilah dari dulu gue mencintai Anya. Tanpa rencana, tanpa jeda, tanpa
terbata-bata. Hal 142
-
In
marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lose more than
everything. We lost ourselves, and there’s nothing sadder than that. Hal 153
- We
didn’t know what we really wished for. Hal 157
- Orang
yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci
kesembuhan kita. Hal 252
- Too
much hate in the world already, we need people to show love. Hal 270
Reaksi pertama setelah selesai
membaca novel ini adalah speechless. Mungkin karena speechless itu sampai aku
harus menunda beberapa hari untuk membuat reviewnya. Novel ini berbeda dengan
novel-novel sebelumnya dari segi emosional. Setelah membaca bentuk cerpennya
dalam kumpulan cerpen di Autumn Once More, tadinya aku kira ceritanya pertemuan
kembali Ale dan Anya bertahun-tahun kemudian setelah pertemuan pertama mereka
di pesawat. Bukan ternyata. Yang menggembirakan adalah mereka sudah menikah di
novel ini. Dan rumah tangga Ale dan Anya dianalogikan seperti pengertian Critical Eleven yang sudah dijelaskan di
sinopsis.
This story is about dealing with
the grief. Kak Ika banyak bermain dengan teknik dalam penulisan novel ini.
Teknik yang bagaimana? Teknik yang bagaimana mengemas kalimat per kalimatnya
agar pembaca tidak mudah bosan. Kita akan diajak berputar-putar dulu sebelum
sampai ke inti cerita. Seperti saat Ale diberi nasehat dari sang ayah, cara
memperlakukan wanita dengan baik dan benar, sebelumnya justru kita akan
menyimak bahasan soal Yirgacheffe –kalau
tidak salah ingat jenis biji kopi- dan cara pembuatannya sampai mendapat rasa
yang pas sebelum sampai ke inti cerita. Banyak bahasan penting yang juga diselipkan
kak Ika di novel ini dan dipaparkan panjang lebar. Kalau bukan teknik penulisan
dan cara bercerita kak Ika yang cool, mungkin novel ini sudah lama ku-skip,
meski ada beberapa bagian juga yang aku skip karena rasa tidak sabar ingin
segera sampai ke inti cerita.
Bukan cuma harus bersabar dengan
alur cerita, kita juga –atau mungkin cuma aku- harus banyak-banyak bersabar
dengan Anya. Yah, aku juga perempuan dan entah bagaimana aku harus berdamai
dengan rasa duka kalau aku mengalami hal yang serupa dengan Anya. Tapi Anya,
kamu ngambeknya kelamaan dan keterlaluan sayang. Di awal cerita aku dibikin
penasaran dengan apa yang terjadi pada Anya dan Ale. Flashback kisah cinta
mereka dulu terlalu manis untuk menempatkan mereka seperti keadaan sekarang
yang diceritakan dalam novel dan juga menjadi konflik utamanya. Tapi memang
harus kuakui kalau kita –khususnya yang sudah berumah tangga- akan banyak
berkaca dari novel ini. Anya mewakili sifat perempuan kebanyakan. Kalau sudah
ngambek, laki-laki bakalan pusing dan bingung bagaimana cara membujuk kembali. Yang
sepatah kata maaf lebih berarti ketimbang perbuatan yang mencerminkan kata
maaf, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Aku yang emosian dan gampang
meledak aja kalau sudah dibaikin, dan terang-terangan suamiku bilang nggak akan
pernah melepaskan aku sebagai istri dan pendamping hidupnya, pastilah bakalan
klepek-klepek dan langsung luluh. Yang begituan nggak mempan buat Anya. Seuntai
kalimat ‘tolol’ yang nggak sengaja diucapkan Ale mengubah segalanya. Yang bikin
gemes adalah, Anya yang jelas-jelas tidak sanggup memusnahkan seorang Aldebaran
Risjad dari pikrannya, tapi keras bertahan bagai karang yang tak goyah dihantam
ombak. Please deh Anya, korban KDRT aja kalau udah dibaikin masih mau balikan
lagi. Terlalu banyak bertanya-tanya tanpa ada niat mau mencoba memberikan
kesempatan kedua. Menuntut Ale untuk menjauh, setelah dituruti, menuduh kalau
Ale juga tidak mau berusaha. Maumu apa sih Nya? But that’s woman. I kind be a
like that sometimes.
Sementara Ale? Aku bisa cukup
mengerti posisi Ale. Dan karena dia bukan tipe laki-laki romantis yang dengan
kalimat ajaibnya mampu menghipnotis para perempuan, dia lebih memilih
menyampaikan permohonan maaf dengan perbuatan. Menuruti permintaan Anya, Ale
bersedia menjauh, tapi tidak pernah berhenti menjadi suami Anya. Ale berusaha
meminta maaf lewat perbuatan, tapi tentu saja tidak cukup. Satu kalimat tolol
yang mengubah lima tahun hubungan asmara mereka. Tapi sekali lagi, harus banyak
berkaca. Kenapa satu kalimat itu bisa meluncur dari mulut seorang suami yang
juga tengah berduka. Salahnya Ale di sini hanya satu, kalimat itu keluar di momen
yang tidak tepat.
Nggak perlu repot-repot bolak-balik buka kamus saat baca novel ini. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang di setiap lembar halaman ada kalimat berbahasa Inggris-nya, di novel ini tidak banyak bertabur kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Tetap masih ada, tapi tidak banyak dan bisa ditolerir. Aku harus mengakui kalau novel ini mampu menggeser kedudukan Twivortiare sebagai novel Ika Natassa yang paling aku favoritkan dari posisi pertama jadi posisi kedua. Perasaanku benar-benar diaduk-aduk, tapi puncaknya begitu mendekati ending dan airmataku tumpah. Rangkaian kalimat demi kalimat, monolog Anya dan Ale, deskripsi-deskripsi panjang yang dikemas baik hingga tidak membuatku menguap karena bosan, dialog-dialog lucu, bagaimana sweet-nya Ale dalam menggambarkan rasa cintanya untuk seorang Anya, dan selipan cerita Harris saat melamar Keara, semuanya bikin nagih. Enggan berhenti sebelum usai. And yeah, yang kangen Harris, he’s here, dengan proporsi yang cukup sehingga tidak mengalihkan perhatian pembaca dari Ale ke Harris. Dan sampai novel kelima ini –selain Underground yang belum pernah kubaca- Harris jadi satu-satunya karakter bad boys dalam setiap novel kak Ika.
Kesimpulannya, Critical Eleven mampu menyentuhku dengan cara berbeda, dan juga memberi pelajaran bagaimana mengambil sikap saat mengalami kejadian seperti yang menimpa Anya. Dan yang paling membuatku kagum adalah bagaimana Ale dan Anya menjaga rahasia masalah keluarga mereka. What's between a man and a woman in a marriage is only between the man and the woman. I gave perfect star for this book.
5 of a 5 stars.
2 komentar:
Review-nya keren. Jadi pingin baca bukunya juga :D :D
aduuuh kelamaan balasnya hehehe, sori. udah dibaca belum?
Posting Komentar