25 Agustus 2015

CRITICAL ELEVEN's REVIEW

Diposting oleh Mellisa Assa di 1:19:00 PM



Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat –tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing - karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger. In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah – delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Desain Sampul: Ika Natassa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku: 344 halaman;20 cm
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-602-03-1892-9

Kutipan monolog dan dialog favorit:
- Aku laki-laki yang sudah kamu pilih, Nya, dan sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan kamu mengubah pilihan itu. Hal 34
-  Lagi pula, aku piker cinta itu untuk dirasakan sendiri kan, bukan untuk dijelaskan ke orang lain? Hal 36
-  I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you. Hal 38
- Hidup memang tidak pernah se drama di film, tapi hidup juga tidak pernah segampang di film. Hal 40
- Kata orang, saat kita berbohong satu kali, sebenarnya kita berbohong dua kali. Bohong yang kita ceritakan ke orang dan bohong yang kita ceritakan ke diri kita sendiri. Hal 57
- Tidak ada yang bisa mengerti kecuali pernah mengalami rasanya saat kebahagiaan orang lain justru mengingatkan kesedihan diri sendiri. Hal 93
- Kata orang waktu akan menyembuhkan luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati oleh waktu. Hal 95
- What’s between a man and a woman in a marriage is only between the man and the woman. Hal 131
- Karena beginilah dari dulu gue mencintai Anya. Tanpa rencana, tanpa jeda, tanpa terbata-bata. Hal 142
- In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lose more than everything. We lost ourselves, and there’s nothing sadder than that. Hal 153
- We didn’t know what we really wished for. Hal 157
-  Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita. Hal 252
-  Too much hate in the world already, we need people to show love. Hal 270

Reaksi pertama setelah selesai membaca novel ini adalah speechless. Mungkin karena speechless itu sampai aku harus menunda beberapa hari untuk membuat reviewnya. Novel ini berbeda dengan novel-novel sebelumnya dari segi emosional. Setelah membaca bentuk cerpennya dalam kumpulan cerpen di Autumn Once More, tadinya aku kira ceritanya pertemuan kembali Ale dan Anya bertahun-tahun kemudian setelah pertemuan pertama mereka di pesawat. Bukan ternyata. Yang menggembirakan adalah mereka sudah menikah di novel ini. Dan rumah tangga Ale dan Anya dianalogikan seperti pengertian Critical Eleven yang sudah dijelaskan di sinopsis.
  
This story is about dealing with the grief. Kak Ika banyak bermain dengan teknik dalam penulisan novel ini. Teknik yang bagaimana? Teknik yang bagaimana mengemas kalimat per kalimatnya agar pembaca tidak mudah bosan. Kita akan diajak berputar-putar dulu sebelum sampai ke inti cerita. Seperti saat Ale diberi nasehat dari sang ayah, cara memperlakukan wanita dengan baik dan benar, sebelumnya justru kita akan menyimak bahasan soal Yirgacheffe –kalau tidak salah ingat jenis biji kopi- dan cara pembuatannya sampai mendapat rasa yang pas sebelum sampai ke inti cerita. Banyak bahasan penting yang juga diselipkan kak Ika di novel ini dan dipaparkan panjang lebar. Kalau bukan teknik penulisan dan cara bercerita kak Ika yang cool, mungkin novel ini sudah lama ku-skip, meski ada beberapa bagian juga yang aku skip karena rasa tidak sabar ingin segera sampai ke inti cerita. 

Bukan cuma harus bersabar dengan alur cerita, kita juga –atau mungkin cuma aku- harus banyak-banyak bersabar dengan Anya. Yah, aku juga perempuan dan entah bagaimana aku harus berdamai dengan rasa duka kalau aku mengalami hal yang serupa dengan Anya. Tapi Anya, kamu ngambeknya kelamaan dan keterlaluan sayang. Di awal cerita aku dibikin penasaran dengan apa yang terjadi pada Anya dan Ale. Flashback kisah cinta mereka dulu terlalu manis untuk menempatkan mereka seperti keadaan sekarang yang diceritakan dalam novel dan juga menjadi konflik utamanya. Tapi memang harus kuakui kalau kita –khususnya yang sudah berumah tangga- akan banyak berkaca dari novel ini. Anya mewakili sifat perempuan kebanyakan. Kalau sudah ngambek, laki-laki bakalan pusing dan bingung bagaimana cara membujuk kembali. Yang sepatah kata maaf lebih berarti ketimbang perbuatan yang mencerminkan kata maaf, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Aku yang emosian dan gampang meledak aja kalau sudah dibaikin, dan terang-terangan suamiku bilang nggak akan pernah melepaskan aku sebagai istri dan pendamping hidupnya, pastilah bakalan klepek-klepek dan langsung luluh. Yang begituan nggak mempan buat Anya. Seuntai kalimat ‘tolol’ yang nggak sengaja diucapkan Ale mengubah segalanya. Yang bikin gemes adalah, Anya yang jelas-jelas tidak sanggup memusnahkan seorang Aldebaran Risjad dari pikrannya, tapi keras bertahan bagai karang yang tak goyah dihantam ombak. Please deh Anya, korban KDRT aja kalau udah dibaikin masih mau balikan lagi. Terlalu banyak bertanya-tanya tanpa ada niat mau mencoba memberikan kesempatan kedua. Menuntut Ale untuk menjauh, setelah dituruti, menuduh kalau Ale juga tidak mau berusaha. Maumu apa sih Nya? But that’s woman. I kind be a like that sometimes. 

Sementara Ale? Aku bisa cukup mengerti posisi Ale. Dan karena dia bukan tipe laki-laki romantis yang dengan kalimat ajaibnya mampu menghipnotis para perempuan, dia lebih memilih menyampaikan permohonan maaf dengan perbuatan. Menuruti permintaan Anya, Ale bersedia menjauh, tapi tidak pernah berhenti menjadi suami Anya. Ale berusaha meminta maaf lewat perbuatan, tapi tentu saja tidak cukup. Satu kalimat tolol yang mengubah lima tahun hubungan asmara mereka. Tapi sekali lagi, harus banyak berkaca. Kenapa satu kalimat itu bisa meluncur dari mulut seorang suami yang juga tengah berduka. Salahnya Ale di sini hanya satu, kalimat itu keluar di momen yang tidak tepat. 

Aku jadi mengerti maksud kalimat ‘yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya’, yang tertulis di bagian belakang cover novel. 

Nggak perlu repot-repot bolak-balik buka kamus saat baca novel ini. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang di setiap lembar halaman ada kalimat berbahasa Inggris-nya, di novel ini tidak banyak bertabur kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Tetap masih ada, tapi tidak banyak dan bisa ditolerir. Aku harus mengakui kalau novel ini mampu menggeser kedudukan Twivortiare sebagai novel Ika Natassa yang paling aku favoritkan dari posisi pertama jadi posisi kedua. Perasaanku benar-benar diaduk-aduk, tapi puncaknya begitu mendekati ending dan airmataku tumpah. Rangkaian kalimat demi kalimat, monolog Anya dan Ale, deskripsi-deskripsi panjang yang dikemas baik hingga tidak membuatku menguap karena bosan, dialog-dialog lucu, bagaimana sweet-nya Ale dalam menggambarkan rasa cintanya untuk seorang Anya, dan selipan cerita Harris saat melamar Keara, semuanya bikin nagih. Enggan berhenti sebelum usai. And yeah, yang kangen Harris, he’s here, dengan proporsi yang cukup sehingga tidak mengalihkan perhatian pembaca dari Ale ke Harris. Dan sampai novel kelima ini –selain Underground yang belum pernah kubaca- Harris jadi satu-satunya karakter bad boys dalam setiap novel kak Ika.  

Kesimpulannya, Critical Eleven mampu menyentuhku dengan cara berbeda, dan juga memberi pelajaran bagaimana mengambil sikap saat mengalami kejadian seperti yang menimpa Anya. Dan yang paling membuatku kagum adalah bagaimana Ale dan Anya menjaga rahasia masalah keluarga mereka. What's between a man and a woman in a marriage is only between the man and the woman. I gave perfect star for this book. 

5 of a 5 stars.

2 komentar:

Hana Aina on 03/09/15, 16.48 mengatakan...

Review-nya keren. Jadi pingin baca bukunya juga :D :D

Mellisa Assa on 04/12/15, 10.51 mengatakan...

aduuuh kelamaan balasnya hehehe, sori. udah dibaca belum?

Posting Komentar

 

Mells Book's Shelves © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor