14 Januari 2016

QUEEN OF BABBLE: IN THE BIG CITY

Diposting oleh Mellisa Assa di 12:49:00 PM



Judul: Queen Of Babble In The Big City
Penulis: Meg Cabot
Penerjemah: Barokah Ruziati
Editor: Widi Lugina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-7006-8
Tahun Terbit: 2011
Tebal Buku: 440 halaman;18 cm
(NOVEL DEWASA)

Lizzie Nichols menapaki trotoar New York City dengan senyum cemerlang. Ia kini tinggal bersama Luke, pacar liburan musim panasnya, di kota yang tidak pernah tidur, di apartemen Fifth Avenue mewah milik ibu Luke.
Sayangnya ia kurang beruntung mencari pekerjaan sesuai kualifikasinya: ahli merombak gaun vintage. Demi kecintaan akan panggilan hidupnya, Lizzie mau bekerja di butik perombakan gaun pengantin, meskipun tidak dibayar. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sebagai resepsionis paro waktu di kantor hukum ayah Chaz, pacar Shari, sahabatnya.
Tapi Lizzie bukan Lizzie kalau tidak terlibat masalah gara-gara hobi ngocehnya. Belakangan, kantor hukum memecatnya, ia menuduh ibu Luke berselingkuh, dan Luke pun ketakutan gara-gara Lizzie mengungkit-ungkit kata "menikah".
Duh, bagaimana bisa kacau balau begini?
===

"Menurutku, kenyataan bahwa aku tidak mencerocos kepada Luke mengenai hal itu begitu dia berjalan memasuki pintu merupakan pertanda kedewasaan dan kemampuan baruku untuk menutup mulut." Hal 115

Lizzie is baaaaaack. Masih dengan kekurangannya yang tukang ngoceh, kegeeran, enggan mendengar pendapat orang lain, tapi dengan kemampuan yang luar biasa dalam merombak gaun vintage, pantang menyerah, jujur dan bisa berpikiran logis di saat-saat tertentu. Dan yah, sedikit -hanya sedikit- bisa menjaga ocehannya.
Masalah yang dihadapi Lizzie di New York tidak gampang. Pertama, dia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan di bidang perombakan gaun vintage. Setelah mendapat pekerjaan, dia malah bekerja tanpa mendapat imbalan. Berkat bantuan Chaz, dia berhasil mendapat pekerjaan sebagai resepsionis di firma hukum Pendergrast, Flynn dan Loughlin. Kedua, dia harus menjaga kerahasiaan klien di firma hukum tersebut, yang jelas sangat sulit untuk seorang tukang ngoceh seperti dirinya. Apalagi saat dia melihat Jill, wanita yang banyak dibicarakan di seluruh surat kabar New York karena akan menikah dengan pengusaha terkaya di New York. Dari gosip yang diceritakan Tiffany -salah satu resepsionis- bahwa Jill yang tidak disukai calon ibu mertuanya, dipaksa memakai gaun pengantin turun-temurun, yang modelnya sudah pasti jelek. Ketiga, Lizzie harus mati-matian menutup mulut dari Luke saat menerima pesan suara dari seorang pria asing untuk ibu Luke, dan dia memanggil ibu Luke dengan panggilan cherie. Keempat, Shari dan Chaz putus karena orang ketiga, dan orang ketiga tersebut sungguh sangat diluar dugaan. Kelima, terancam kehilangan pekerjaan saat wajahnya muncul di salah satu koran bersama dengan Jill, yang berkat ocehan luar biasanya dia berhasil membujuk Jill untuk merombak gaun pengantin tuanya. Dan keenam, Lizzie kecewa karena Luke belum siap berkomitmen sementara dirinya sudah berkhayal tentang pernikahan.
Yah, memang harus kuakui kalau Lizzie sudah sedikit berubah. Tapi anehnya, dia belum bisa menyaring mana hal yang harus dibicarakan dan mana yang harus dirahasiakan. Contohnya saat dia tidak sengaja mendengarkan pesan suara yang ditujukan pada ibu Luke. Harusnya dia tetap membicarakan dengan Luke alih-alih hanya menyimpan sendiri dan berasumsi yang tidak-tidak. Sebaliknya, Lizzie justru bercerocos panjang lebar pada Monsieur Henri dan istrinya bagaimana dia bisa mengenal Jill. Akibatnya, dia malah harus kehilangan pekerjaannya sebagai resepsionis.
Monolog-monolog Lizzie soal kegeerannya yang mengira Luke akan segera menikahinya mengingatkan aku dengan monolog tokoh Rachel dalam serial Glee. Seandainya novel ini akan difilmkan, Lea Michelle mungkin cocok memerankan tokoh Lizzie. Kekurangan Lizzie masih sama seperti di novel sebelumnya, suka kegeeran dan terlalu cepat menyimpulkan. Tapi aku sangat mengagumi sifat pantang menyerah Lizzie. Sekalipun sudah dilanda rasa putus asa, tapi Lizzie tetap menyerah. Begitu pula dengan rasa kesetiakawanannya pada Shari.

"Kau tidak pernah mengorbankan mimpimu ketika keadaan mulai memburuk." Hal 121

Meski bercerita dengan sudut pandang Lizzie, tapi ceritanya tidak melulu seputar ocehan Lizzie saja. Masalah Shari dan Chaz, dan tokoh Jill menambah sedikit bumbu dalam cerita. Begitu juga dengan asmaranya dan Luke, yang berbeda dengan novel sebelumnya. Tapi aku memang merasa porsi Luke agak sedikit berkurang dalam novel ini. Mungkin karena dia sibuk dengan mata kuliahnya dan Lizzie sibuk bekerja.

"Tidak mudah menjaga api tetap menyala saat kau tinggal seatap." Hal 134
Tapi aku setuju dengan pendapat Chaz mengenai Luke yang dia ungkapkan dalam bentuk perumpamaan. Kalau dia tidak akan memilih Luke dalam taruhan balapan kuda. Yah, kalau di novel sebelumnya kita akan klepek-klepek dengan sifat Luke, di novel ini biasa saja kesannya. Memang sih Lizzie-nya juga kegeeran, tapi untuk perempuan yang pekerjaannya selalu dikelilingi para calon pengantin, wajarlah kalau Lizzie mendambakan pernikahan. Apalagi karena Luke juga mengajaknya tinggal bersama. Jangankan Lizzie, aku saja sebagai pembaca akan menganggap kalau itu salah satu bentuk keseriusan Luke. Untung saja pada akhirnya Luke menyadari kesalahannya.
"Karena walaupun kau punya reputasi sebagai orang yang terlalu banyak bicara, ada satu hal tentang dirimu: kau selalu berkata jujur." Hal 436
Di akhir cerita, kita akan melihat kalau Lizzie mulai bingung. Di awal dia yang begitu berharap dilamar Luke tapi di akhir cerita seperti mulai bingung saat Luke melamarnya dengan tiba-tiba. Lah kenapa bingung? Ada hubungannya dengan Chaz juga. Just don't miss this book. Jangan lupa juga baca seri pertamanya.

3,5 of a 5 Stars

0 komentar:

Posting Komentar

 

Mells Book's Shelves © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor